Ketika Siber Menggusur Budaya Lama Bermedia
Catatan: Mohammad Nasir, Sekretaris Jenderal Serikat Media Siber Indonesia. Disampaikan dalam Indonesia 4.0 Conference and Expo yang diselenggarakan PT Naganaya Indonesia di Grand Ballroom Jakarta International Expo, 24 Agustus 2023.
ERA digital masuk
Indonesia bagaikan badai. Awalnya berupa angin lembut yang terasa nyaman. Kemudian tekanan angin itu bertambah
kuat, semakin kuat dan membesar. Dahsyat
dan mengobrak-abrik segala yang sudah ada.
Sebagai praktisi media, wartawan media cetak,
semula kami mendambakan hadirnya teknologi digital yang bisa untuk mengirim
naskah berita ke redaksi tempat kami bekerja, Harian Kompas.
Awal tahun 1990-an kami diperkenalkan
perangkat pengiriman berita lewat komputer/laptop yang dihubungkan melalui
jaringan telepon. Namanya crosstalk.
Pengiriman dijamin tidak sampai apabila
pengiriman belum sampai 100 persen yang ditunjukkan dengan munculnya angka yang
disertai suara “krook, kroook”. Begitu sampai 100 persen lega. Pasti
masuk. Itulah lah pertama pengenalan
alat pengiriman berita lewat komputer.
Sebelumnya kami menggunakan mesin teleks, dan
faksimile yang kami pinjam dari kantor Telekom terdekat di mana kami berada: di
daerah, luar kota, atau luar negeri. Tentunya kami membayar.
Ketika kami meliput konflik di Bosnia
Herzegovina, tahun 1995, masuk sebuah hotel yang dinding kamar dan lift sudah
berlubang-lubang karena ditembus peluru, pertama yang kami dekati adalah kantor
hotel atau business centre untuk bisa menggunakan faksimile untuk mengirim
berita. Ketika mesin faksimile yang dibutuhkan sudah ada, barulah kami tenang.
Zaman sekarang beda. Yang dicari bukan
faksimile, tetapi komputer yang terdapat jaringan internet. Kalaupun tidak
ditemukan komputer yang berjaringan internet, smartphone di tangan pun bisa
berfungsi untuk mengirim berita dengan jaringan internet yang ada di dalamnya.
Smartphone berjaringan internet inilah yang
kami bayangkan untuk bisa mengirim berita dari mana saja, dari hutan, dari
pegunungan sampai rawa-rawa.
Saat itu saking kepinginnya mempunyai
smartphone berteknologi canggih seperti
itu, kami membeli setiap smartphone yang di dalamnya terdapat perangkat
internet. Tujuannya untuk mengirim berita dari luar kantor.
Smartphone yang kami coba mulai dari merek
Siemens, Nokia, Samsung, dan lain-lainnya. Namun ketika itu tahun 1990-an belum
ada smartphone canggih yang bisa mengirim berita secepat smartphone sekarang
ini. Dulu smartphone bisa digunakan mengakses internet setelah dioperasikan
dengan beberapa langkah. Hasilnya tidak semulus sekarang.
Sekarang smartphone android bisa digunakan
mengirim teks dan gambar hanya tiga langkah. Mengarahkan cursor ke pengiriman,
pilih yang akan dituju, lalu tekan kirim (send). Betapa mudahnya. Ini surga
bagi wartawan yang mengirim naskah berita dari luar kantor.
Namun kemudahan dan kenyamanan itu berujung
duka. Diiringi “badai” internet. Semua serba internet.
Pertumbuhan media berbasis internet, yang
disebut media online atau media siber tumbuh di mana. Kebiasaan membaca lewat
media cetak tergerus. Belanja iklan sebagian beralih ke media digital.
Media cetak kehilangan sebagian besar
pemasukan iklan. Satu per satu media cetak tutup. Seluruh dunia media cetak,
seperti koran, tabloid, dan majalah banyak yang gulung tikar dan tutup.
Era digital menjadi membudaya, menggusur
tradisi bermedia lama. Cara mendistribusikan media berbeda, tradisi newsroom
berubah, karena setiap menit berita bisa disiarkan melalui media online.
Jurnalisme pun mulai berubah. Berita yang
belum dikonfirmasi kebenarannya boleh tayang, sambil menunggu dilengkapi hasil
konfirmasi. Semua dilakukan demi kecepatan.
Terjadi Disrupsi
Saat itu kemudian terjadi disrupsi teknologi
dan sosial di mana-mana. Masyarakat beralih ke digital dalam mencari informasi.
Perusahaan media pers digital banyak tumbuh di mana-mana. Sementara media pers
cetak banyak yang tutup untuk selamanya. Sebagian di antaranya bermigrasi ke
online.
Ketika terjadi perubahan pekerjaan media
dengan semangat kebaruannya di perusahaan media, dapat diperkirakan perguruan
tinggi yang mempunyai jurusan jurnalistik ikut terkena disrupsi. Lulusannya
tidak bisa memenuhi tuntutan pekerjaan, karena apa yang diajarkan kepada
mahasiswa berbeda dengan tuntutan lapangan kerja.
Praktis perguruan tinggi harus “belanja” ilmu
jurnalisme baru, melakukan penelitian untuk memperoleh pengetahuan terbaru. Ada
perguruan tinggi yang kemudian merekrut dosen dari kalangan praktisi media
online, untuk memenuhi kebutuhan link and match dengan dunia kerja.
Sebut saja salah satu perguruan tinggi di
Jakarta, Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) yang merekrut praktisi dari
media siber untuk menjadi dosen di fakultas komunikasinya.
Disrupsi yang lebih tampak nyata terjadi di
media pers cetak. Situasi bisnis
perusahaan pers konvensional melemah, sebagian wartawan dipotong gaji mereka,
ada yang kemudian dirumahkan, dan bahkan diberhentikan secara permanen.
Keadaan krisis media konvensional seperti itu
terjadi di Indonesia dan hampir seluruh belahan dunia. Para wartawan
profesional yang menjadi korban disrupsi teknologi dan perubahan sosial, lalu
membanting setir beradaptasi dengan zaman baru era digital ini.
Mereka merintis mendirikan perusahaan pers
online atau yang disebut perusahaan rintisan (startup). “Mahasiswa-mahasiswa
kami menemukan banyak startup (perusahaan pers siber- Red.) di seluruh dunia—
mulai dari Uganda ke Colombia, dari Kuba ke Nepal, dari Canada ke Italy, dari Australia
ke Amerika Serikat— Kami membutuhkan dana bantuan lebih banyak,” demikian
kutipan dari buku Beyond Journalism (2020), ditulis dua dosen peneliti
jurnalisme dan studi media, Mark Deuze (Universitas Amsterdam) dan Tamara
Witschge (Universitas Groningen).
Bantuan dana yang dimaksud Tamara berasal
dari Universitas Groningen tempat ia mengajar. Bantuan antara lain berupa dana,
pendidikan dan beasiswa, serta pemikiran/arahan riset internasional tentang
jurnalisme dan media.
Kedua peneliti itu pergi ke pusat kota
Nieuwsatelier di Amsterdam, keduanya masuk ke lantai dasar gedung tua yang
kosong. Di gedung tua tidak berpenghuni itu ada lima startup perusahaan media
siber yang berbeda, dan sebuah asosiasi jaringan kerja wartawan independen.
Situasi itu hampir sama dengan perusahaan
pers kawan-kawan di kota Tangerang yang menempati gedung tua Pemerintah Daerah
Kabupaten Tangerang, di Jalan Daan Mogot yang tidak digunakan lagi.
Di satu lantai atas pojok depan di gedung
yang tidak diurus itu juga digunakan oleh sejumlah perusahaan pers siber.
Banyak wartawan di daerah lain di Indonesia
turut beradaptasi dengan dunia baru, merintis menjadi pengusaha media online.
Diharapkan perusahaan media siber tidak hanya berhenti pada adaptasi, melainkan
turut berinovasi di tengah zaman digital, era 4.0. (*)